IMPLIKASI
KONSEP WAWASAN NUSANTARA
TERHADAP
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
I.
Pendahuluan
Indonesia adalah
negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Batas wilayah laut
Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut (jangkauan terjauh
tembakan meriam kapal pada saat itu) dari garis pantai (Coastal baseline) untuk
setiap pulau yang ada di Indonesia, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan
Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Hal tersebut sesuai dengan
prinsip Uti Posidetis Juris, dimana dinyatakan bahwa : wilayah
dan batas wilayah suatu negara merupakan warisan dari penguasa pendahulu (dalam
hal ini para penjajah) yang di dapat setelah negara tersebut meraih
kemerdekaan. (Black’s Law Dictionary).
Namun ketetapan batas tersebut yang merupakan
warisan kolonial Belanda, dinilai tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan
keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia serta tidak menguntungkan
Indonesia karena Indonesia bukan merupakan satu kesatuan wilayah kedaulatan
darat dan laut.
II. Lahirnya Deklarasi
Djoeanda
Pemikiran ini
mendorong Perdana Menteri Indonesia, Djoeanda Kartawidjaja, untuk melakukan
klaim atas kawasan laut Indonesia. Bermodalkan sebuah atlas sederhana ketika
itu, Djoeanda meminta seorang diplomat muda Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja,
untuk menggambar garis yang melingkupi kepulauan Indonesia. Garis itu kemudian
dikenal dengan garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik paling
tepi pulau-pulau terluar Indonesia. Inilah cikal bakal Wawasan Nusantara yang
memandang keseluruhan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah darat, laut
dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh.
Djoeanda beserta
para diplomat yang lain (Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman,
Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima,
Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda) membawa gagasan wawasan Nusantara tersebut ke
dunia Internasional melalui sebuah deklarasi.
Apakah gagasan
tersebut langsung dapat diterima begitu saja oleh negara-negara lain? Tidak.
Ternyata Indonesia harus berjuang untuk meyakinkan negara-negara lain. Dengan
cara yang terhormat di meja perundingan akhirnya dunia mengakui status
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan disepakatinya Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
Isi pokok dari
deklarasi tersebut yaitu : “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa
memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia,
dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di
bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.
Artinya, laut di
antara pulau-pulau Indonesia kemudian diakui sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.
Dengan keberhasilan ini, Indonesia ‘menambah’ luas wilayah dan yurisdiksi
lautnya tanpa sebutir pelurupun ditembakkan. Ini adalah bukti kehandalan
diplomasi Indonesia.
Diakuinya konsep negara
kepulauan (archipelagic state) oleh
dunia, maka Indonesia melakukan ratifikasi. Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada
tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2
juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2
(meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar
3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2
dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. Konsep Nusantara
dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis
Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.
Hingga kini telah
diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi
Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif,
meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang
No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan “United Nations Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS).
Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut,
diukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan
tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona
Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang
tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar
2,7 juta km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta km2.
Gambar 1. Peta kedaulatan NKRI setelah deklarasi Djoeanda 1957
III. Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS)
1982
Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai
laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial
harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau
garis batas yang diakibatkan oleh
ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat
berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara
negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan
dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis
posisinya (pasal 16 ayat 1). Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif
penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus
sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan
ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berseberangan (opposite) atau berdampingan (adjacent)
harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan
posisinya (Pasal 75 Ayat 1). Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis
batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai
dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berseberangan (opposite) atau berdampingan (adjacent),
harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1).
Gambar 2. Illustrasi tampak atas Zona
Maritim sebuah negara kepulauan (Arsana, 2012)
Gambar 3. Illustrasi kawasan maritim yang dapat
diklain negara pantai
menurut UNCLOS (Arsana, 2014)
Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan (regime) hukum laut yaitu:
1.
Perairan Pedalaman
(Internal waters),
2.
Perairan kepulauan
(Archiplegic waters) termasuk ke
dalamnya selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional,
3.
Laut Teritorial (Teritorial waters),
4.
Zona tambahan ( Contingous waters),
5.
Zona ekonomi
eksklusif (Exclusif economic zone),
6.
Landas Kontinen (Continental shelf),
7.
Laut lepas (High seas),
8.
Kawasan dasar laut
internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut
1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi
pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk
Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan
kepulauan danlaut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya
hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada dizona tersebut. Sebaliknya, laut
lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan
kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
IV. Delimitasi Batas
Maritim
Delimitasi batas maritim antar negara adalah penetuan
batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lain
(tetangganya) di laut. Mengapa batas wilayah harus ditentukan?. Penentuan batas
sangatlah penting karena untuk menjamin jelesan dan kepastian yuridiksi (jurisdictional clarity and certainty)
(Prescott and Schofield 2005:216-218). Hal ini dapat memberikan keutungan multi
dimensi misalnya dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut secara efektif
dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritim security). Alasan dan pertimbangan yang lain adalah bahwa
perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak negara pantai untuk
mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non hayati (living dan non living). Dalam konteks yang serupa, delimitasi batas maritim
bisa menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan
kedaulatan, kekuasaan hukum, dan legitimasi negara tersebut. Delimitasi juga
dapat mengurangi zona pertampalan atau tumpang tindih klaim maritim yang
potensial menimbulkan konflik antar negara-negara bertetangga, dengan
menghilangkan sumber-sumber friksi dan sengketa dalam hubungan internasional
(Schofield 2005:101-102).
Delimitasi batas maritim tidak saja akan mempengaruhi
hubungan baik antara negara-negara bersengketa, tetapi juga posisi negara
tersebut secara umum di dunia internasional.
Indonesia yang merupakan negara pantai memiliki
tetanggan yang terpisah oleh lautan baik yang berseberangan (opposite) maupun yang berdampingan dalam
satu daratan (adjacent). Terdapat 10
negara tetangga yang memiliki potensi tumpang tindih klaim maritim dengan
Indonesia yaitu, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia. Indonesia mulai melakukan
penetapan batas wilayah sejak tahun 1969 yang telah disepakati dengan Malaysia
di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Kemudian setelah itu disusul dengan
penetapan di beberapa wilayah dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua
Nugini, Australia, dan Filipina. Untuk kesepakatan batas maritim dengan Palau
dan Timor Leste sampai saat ini masih belum ada kesepakatan.
Belum adanya kesepakan yang jelas tersebut dapat
menimbulkan klaim antar negara yang kemudian berujung pada saling tuduh mencuri
hasil laut, atau dapat menimbulkan konflik yang lain yang mungkin lebih besar.
Hal tersebut telah nyata terjadi seperti ditangkapnya nelayan yang sedang
mencari ikan di negaranya (A) yang kemudian ia memasuki kawasan tumpang tindih.
Sejatinya ia telah mengikuti aturan sesuai dengan peta yang ia gunakan sebagai
acuan, yaitu peta yang dibuat oleh negaranya. Namun negara tetangga (B) menilai
bahwa nelayan tersebut telah memasuki kawasan negaranya tanpa izin. Hal
tersebut lalu menimbulkan konflik antar negara.
Mengapa tumpang tindih klaim antar negara dapat
terjadi? Hal tersebut dimungkinkan karena peta acuan yang digunakan oleh
masing-masing negara berbeda dan datum serta sistem proyeksi yang digunakan
oleh masing-masing negara juga berbeda.
Lalu bagaimana solusinya? Solusi yang mungkin bisa
dilakukan yaitu melakukan sebuah perjanjian dan menyamakan datum serta sistem
proyeksi yang digunakan pada peta masing-masing negara. Namun sejatinya itu
bukanlah perkara yang mudah, karena tidak setiap negara mau untuk menyamakan
datum atau sistem proyeksi yang digunakan. Sebuah negara memilih datum dan
sistem proyeksi yang digunakan pada peta negaranya biasanya karena datum dan
sistem proyeksi tersebut sesuai dengan keadaan geografis negara tersebut.
V. Mengelola Wilayah
Pesisir Secara Cerdas
Laut telah berkembang menjadi aset nasional wilayah
kedaulatan, ekosistem, sumber daya yang dapat bertindak sebagai sumber energi,
sumber bahan makanan, sumber bahan farmasi, serta berperan sebagai media lintas
laut antar pulau, media pertukaran sosial-budaya, kawasan perdagangan, dan
wilayah pertahanan keamanan. Begitu banyaknya peran sebuat lautan maka banyak aktivitas
yang terjadi, dan banyak pula orang yang terlibat dalam masing-masing aktivitas
tersebut. Maka dari itu diperlukannya pengetahuan mengenai pengelolaan laut dan
pesisir secara bijak dan terpadu. Serta diperlukannya suatu konsepsi melalui
pendekatan makro dan pendekatan mikro dalam penataan dan pengelolaan wilayah
laut.
Referensi:
Arsana, Andi.2014."Memagari Laut Nusantara". dalam MemagariLautNusantara.pdf
(Bahan kuliah 23 Februari 2015)
Arsana, Andi.2007."Batas Maritim Antarnegara". Yogyakarta: UGMPress
Rais, Jacub [et al].2004."Menata Ruang Laut Terpadu". Yogyakarta: Pradnya Paramita
0 komentar:
Posting Komentar