Indonesia merupakan negara kepulauan, itulah mengapa
sebagian besar (60 %) penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir. Pesisir
memiliki potensi kekayaan alam yang besar yang dapat dikembangkan dan dikelola
dengan baik. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil rentan mengalami
kerusakan akibat aktivitas sekelompok
orang/perorangan dalam memanfaatkan
sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai
kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah
pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan
kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan
yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya.
Sementara itu, kesadaran nilai strategis
dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan,
terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak
masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau
Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil
terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan
daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi
faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya
hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi
dengan sumber daya lain. Oleh
karena itu diperlukannya hukum yang mengatur, sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
hukum. Pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin
kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3).
Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
belum memberikan hasil yang optimal. Dikarenakan Mekanisme
HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Maka
dibentuklah Undang-undang No 1 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-undang
No 27 tahun 2007.
Dalam rangka optimalisasi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan
kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan.
Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara
untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),
melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad),
dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara
tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga
dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat
Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan
Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara
umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk
mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan,
serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan
Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang
melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta
pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4739) yang diubah sebagai berikut:
1. Pengubahan
Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28,
angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah,
dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A,
serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A
2. Pengubahan
ayat (1) dan ayat (7) pada Pasal 14
3. Pengubahan Judul
Bagian Kesatu pada Bab V dari Bagian Kesatu: Hak Penguasaan Perairan
Pesisir menjadi Bagia kesatu: Izin.
4.
Pengubahan
Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
5.
Penambahan
Pasal baru diantara Pasal 22 dan 23, yaitu Pasal 22A, 22B, dan 22C.
6.
Pengubahan
Pasal 23.
7.
Penambahan
Pasal baru diantara Pasal 26 dan 27, yaitu Pasal 26A.
8.
Pengubahan
Pasal 30, 50, 51, dan 60.
9.
Pengubahan
Pasal 63 ayat 2.
10. Pengubahan Pasal 71, dan 75.
11. Penambahan Pasal baru diantara pasal 75 dan
76, yaitu Pasal 75A.
12. Penambahan Pasal baru diantara pasal 78 dan
79, yaitu Pasal 78A dan pasal 78B.
Analisis
Berdasarkan perubahan diatas maka terdapat dua
hal penting dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014, yaitu tentang penggantian HP-3 dan Kawasan
Konservasi Laut. Hal
yang mendasari dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 adalah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait
HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).
HP-3 menurut Pasal 1 ayat 18
Undang-Undang Nomor
27 2007 adalah adalah hak atas bagian-bagian
tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha
lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar
laut pada batas keluasan tertentu. Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2007 juga menjelaskan
bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan
dibebankan hak tanggungan. Dengan adanya sifat HP-3 tersebut maka banyak kemungkinan
hak tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi, atau
kemompok tertentu. Serta pemberian HP3 kepada
pihak swasta dinilai sebagai pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas
pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta. Meskipun Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007
mengakomodasi masyarakat adat untuk bisa memperoleh HP3, namun MK menilai bahwa
masyarakat adat tidak akan mampu memenuhi persyaratan untuk perolehan HP3 dan
tidak akan mampu bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal. Dengan ketidakmampuan tersebut, masyarakat
adat akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Kondisi ini yang dianggap bertentangan dengan pasal
33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat
2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat (ayat 3).
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka terminologi
“hak” HP-3 dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diganti
dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.
Izin pengelolaan dalam hal ini diwajibkan untuk kegiatan produksi garam,
biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi,
wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan
benda muatan kapal tenggelam. Namun
perlu digarisbawahi bahwa terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat
terhadap kewajiban ini. Hal inilah yang
membedakan dengan HP-3 pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dimana
masyarakat adat dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3. Persaingan
tersebut dianggap tidak sehat sebab korporasi memiliki modal yang jauh lebih besar
ketimbang masyarakat adat.
Selain HP-3, hal yang paling menonjol dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 ini adalah
pengalihan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP). Pasal 78A menyebutkan kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan
melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah
menjadi kewenangan Menteri. Menteri yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 ini tentunya menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan alias
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Penjelasan pasal 78A bahkan menjelaskan secara lebih
detail bahwa yang dimaksud dengan ”kawasan konservasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman
Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman
Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain: Taman Nasional (Laut) Kepulauan
Seribu, Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, Taman Nasional (Laut) Bunaken,
Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi, Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate,
Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Taman Nasional Kepulauan Togean. Hal ini berarti negara telah memutuskan bahwa
kawasan konservasi laut tersebut mesti dikelola oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Daftar Pustaka
UU No. 7 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
0 komentar:
Posting Komentar