Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014


Indonesia merupakan negara kepulauan, itulah mengapa sebagian besar (60 %) penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir. Pesisir memiliki potensi kekayaan alam yang besar yang dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas sekelompok orang/perorangan dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya.
Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh karena itu diperlukannya hukum yang mengatur, sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. Pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).
Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Dikarenakan Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.  Maka dibentuklah Undang-undang No 1 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No 27 tahun 2007.
Dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) yang diubah sebagai berikut:
1.    Pengubahan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A
2.     Pengubahan ayat (1) dan ayat (7) pada Pasal 14
3.   Pengubahan Judul Bagian Kesatu pada Bab V dari Bagian Kesatu: Hak Penguasaan Perairan Pesisir menjadi Bagia kesatu: Izin.
4.      Pengubahan Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
5.      Penambahan Pasal baru diantara Pasal 22 dan 23, yaitu Pasal 22A, 22B, dan 22C.
6.      Pengubahan Pasal 23.
7.      Penambahan Pasal baru diantara Pasal 26 dan 27, yaitu Pasal 26A.
8.      Pengubahan Pasal 30, 50, 51, dan 60.
9.      Pengubahan Pasal 63 ayat 2.
10.  Pengubahan Pasal 71, dan 75.
11.  Penambahan Pasal baru diantara pasal 75 dan 76, yaitu Pasal 75A.
12.  Penambahan Pasal baru diantara pasal 78 dan 79, yaitu Pasal 78A dan pasal 78B.
Analisis
Berdasarkan perubahan diatas maka terdapat dua hal penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yaitu tentang penggantian HP-3 dan Kawasan Konservasi Laut. Hal yang mendasari dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).  HP-3 menurut Pasal 1 ayat 18 Undang-Undang Nomor 27 2007 adalah adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.  Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 juga menjelaskan bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Dengan adanya sifat HP-3 tersebut maka banyak kemungkinan hak tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi, atau kemompok tertentu. Serta pemberian HP3 kepada pihak swasta dinilai sebagai pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta.  Meskipun Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 mengakomodasi masyarakat adat untuk bisa memperoleh HP3, namun MK menilai bahwa masyarakat adat tidak akan mampu memenuhi persyaratan untuk perolehan HP3 dan tidak akan mampu bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal.  Dengan ketidakmampuan tersebut, masyarakat adat akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Kondisi ini yang dianggap bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat (ayat 3).
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka terminologi “hak” HP-3 dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diganti dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.  Izin pengelolaan dalam hal ini diwajibkan untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.  Namun perlu digarisbawahi bahwa terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat terhadap kewajiban ini.  Hal inilah yang membedakan dengan HP-3 pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dimana masyarakat adat dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3. Persaingan tersebut dianggap tidak sehat sebab korporasi memiliki modal yang jauh lebih besar ketimbang masyarakat adat.
Selain HP-3, hal yang paling menonjol dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 ini adalah pengalihan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).  Pasal 78A menyebutkan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.  Menteri yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 ini tentunya menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan alias Menteri Kelautan dan Perikanan.

Penjelasan pasal 78A bahkan menjelaskan secara lebih detail bahwa yang dimaksud dengan ”kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain: Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu, Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, Taman Nasional (Laut) Bunaken, Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi, Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Taman Nasional Kepulauan Togean.  Hal ini berarti negara telah memutuskan bahwa kawasan konservasi laut tersebut mesti dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Daftar Pustaka
UU No. 7 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

0 komentar:

Posting Komentar

More

Visitor Maps

Visitors