Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Dengan telah diberlakukannya UNCLOS, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan yang utuh sesuai pada Bab IV UNCLOS 1982, yang isinya tentang prinsip dan ketentuan Hukum Internasional, yang melandasi ‘suatu negara kepulauan dipandang sebagai sesuatu kesatuan wilayah negara yang utuh’. Sebagai konsekuensinya, maka Indonesia diwajibkan memberikan akses hak lintas damai sesuai dengan UNCLOS 1982 pasal 53 ayat 9, yang isinya ‘’...dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud untuk diterima...’’ Sesuai dengan ketentuan itu, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyediakan jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Pengaturan mengenai hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan diatur dalam UU No. 6 Tahun 1996, yaitu selain untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional dan kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (Hasibuan R, 2002). ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) merupakan konsensus yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah no 37 tahun 2002, dengan membagi wilayah Indonesia untuk dilewati oleh 3 jalur ALKI yaitu:
1.    ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan
2.    ALKI II : Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi
3.    ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) - Laut Maluku, Samudera Pasifik
4.    ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke ALKI III-A


Gambar 4. Peta Jalur ALKI di Indonesia


Peraturan mengenai penentuan jalur ALKI baru diatur lebih lanjut dalam UNCLOS’82 pasal 53 ayat 1, yaitu ” suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Selain alur kepulauan, Negara Kepulauan dapat menetapkan skema pemisah lintas untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit dalam alur laut kepulauan”.
Namun dalam penentuan ALKI ini tidak diwajibkan.  Pemerintah Indonesia boleh saja tidak menentukan ALKI - nya tapi yang konsekuensinya, semua kapal internasional diperbolehkan melewati jalur-jalur navigasi yang sudah normal digunakan dalam pelayaran dunia (routes normally used for international navigation) (UNCLOS’82 pasal 53 ayat 12).
Apabila Pemerintah Indonesia telah menentukan ALKI, maka kapal internasional yang akan melewati jalur ALKI tersebut harus mengikuti jalur yang sudah tentukan. Tidak boleh lagi bercabang dalam bernavigasi atau menyisir area ke daratan sesuai ruterute pelayaran yang terdahulu. Kapal internasional tersebut wajib mematuhi jalur yang sudah ditetapkan. Misalnya dalam menentukan jalur ALKI timur – barat atau ALKI IV. Selama ini, rute pelayaran melalui laut jawa banyak cabangnya, seperti di pulau Bawean. Kapal boleh berlayar di utara Bawean dan ada pula yang melintasi jalur di selatan pulau Bawean.
Nah, apabila tidak ditentukan ALKI timur – barat atau ALKI IV, maka semua kapal internasional berhak melewati semua area pada jalur tersebut. Akan tetapi, apabila telah ditentukan jalur ALKI IV ini, kemudian kita usulkan ke PBB bahwa jalur kapal harus melalui sebelah utara pulau Bawean, maka semua kapal internasional yang melewati laut jawa wajib melalui rute diutara pulau Bawean tersebut.

Terkait dengan keuntungan dan kerugian ALKI IV (ALKI timur – barat), yang butuh jalur ALKI tersebut kelihatannya negara Amerika, Inggris atau Australia dimana terdapat kepentingan militer ataupun perdagangan. Akan tetapi sebetulnya, yang memerlukan jalur ALKI IV itu adalah Negara Indoneisa. Bagi Negara-negara besar tersebut, tanpa adanya ketentuan jalur ALKI IV, kapal-kapal mereka sesukanya dapat melewati area dimana aja selama jalur tersebut belum ditetapkan. Namun apabila jalur ALKI IV itu ditentukan, tentunya negara-negara asing akan menghormatinya dengan hanya melewati jalur ALKI IV yang telah ditetapkan tersebut. Sehingga bisa dilihat dari sisi hukum internasional, dibukanya rute itu akan menguntungkan kita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang utuh.

WAWASAN NUSANTARA UNTUK PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR

IMPLIKASI KONSEP WAWASAN NUSANTARA
TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

I.         Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut (jangkauan terjauh tembakan meriam kapal pada saat itu) dari garis pantai (Coastal  baseline) untuk setiap pulau yang ada di Indonesia, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Hal tersebut sesuai dengan prinsip Uti Posidetis Juris, dimana dinyatakan bahwa : wilayah dan batas wilayah suatu negara merupakan warisan dari penguasa pendahulu (dalam hal ini para penjajah) yang di dapat setelah negara tersebut meraih kemerdekaan. (Black’s Law Dictionary).
 Namun ketetapan batas tersebut yang merupakan warisan kolonial Belanda, dinilai tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia serta tidak menguntungkan Indonesia karena Indonesia bukan merupakan satu kesatuan wilayah kedaulatan darat dan laut.

II.      Lahirnya Deklarasi Djoeanda
Pemikiran ini mendorong Perdana Menteri Indonesia, Djoeanda Kartawidjaja, untuk melakukan klaim atas kawasan laut Indonesia. Bermodalkan sebuah atlas sederhana ketika itu, Djoeanda meminta seorang diplomat muda Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, untuk menggambar garis yang melingkupi kepulauan Indonesia. Garis itu kemudian dikenal dengan garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik paling tepi pulau-pulau terluar Indonesia. Inilah cikal bakal Wawasan Nusantara yang memandang keseluruhan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh.
Djoeanda beserta para diplomat yang lain (Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda) membawa gagasan wawasan Nusantara tersebut ke dunia Internasional melalui sebuah deklarasi.
Apakah gagasan tersebut langsung dapat diterima begitu saja oleh negara-negara lain? Tidak. Ternyata Indonesia harus berjuang untuk meyakinkan negara-negara lain. Dengan cara yang terhormat di meja perundingan akhirnya dunia mengakui status Indonesia sebagai negara kepulauan dengan disepakatinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
Isi pokok dari deklarasi tersebut yaitu : “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah  bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.
Artinya, laut di antara pulau-pulau Indonesia kemudian diakui sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia. Dengan keberhasilan ini, Indonesia ‘menambah’ luas wilayah dan yurisdiksi lautnya tanpa sebutir pelurupun ditembakkan. Ini adalah bukti kehandalan diplomasi Indonesia.
Diakuinya konsep negara kepulauan (archipelagic state) oleh dunia, maka Indonesia melakukan ratifikasi. Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. Konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.
Hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan “United Nations Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, diukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta km2, sehingga menjadi sekitar 5,8  juta km2.

   Gambar 1. Peta kedaulatan NKRI setelah deklarasi Djoeanda 1957

III.    Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis  batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1). Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang  pantainya berseberangan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1). Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang  pantainya berseberangan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1).
        Gambar 2. Illustrasi tampak atas Zona Maritim sebuah negara kepulauan (Arsana, 2012)

Gambar 3. Illustrasi kawasan maritim yang dapat diklain negara pantai
menurut UNCLOS (Arsana, 2014)

Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan (regime) hukum laut yaitu:
1.      Perairan Pedalaman (Internal waters),
2.      Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk  pelayaran internasional,
3.      Laut Teritorial (Teritorial waters),
4.      Zona tambahan ( Contingous waters),
5.      Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6.      Landas Kontinen (Continental shelf),
7.      Laut lepas (High seas),
8.      Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan danlaut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada dizona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.

IV.   Delimitasi Batas Maritim
Delimitasi batas maritim antar negara adalah penetuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut. Mengapa batas wilayah harus ditentukan?. Penentuan batas sangatlah penting karena untuk menjamin jelesan dan kepastian yuridiksi (jurisdictional clarity and certainty) (Prescott and Schofield 2005:216-218). Hal ini dapat memberikan keutungan multi dimensi misalnya dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut secara efektif dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritim security). Alasan dan pertimbangan yang lain adalah bahwa perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak negara pantai untuk mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non hayati (living dan non living). Dalam konteks yang serupa, delimitasi batas maritim bisa menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum, dan legitimasi negara tersebut. Delimitasi juga dapat mengurangi zona pertampalan atau tumpang tindih klaim maritim yang potensial menimbulkan konflik antar negara-negara bertetangga, dengan menghilangkan sumber-sumber friksi dan sengketa dalam hubungan internasional (Schofield 2005:101-102).
Delimitasi batas maritim tidak saja akan mempengaruhi hubungan baik antara negara-negara bersengketa, tetapi juga posisi negara tersebut secara umum di dunia internasional.
Indonesia yang merupakan negara pantai memiliki tetanggan yang terpisah oleh lautan baik yang berseberangan (opposite) maupun yang berdampingan dalam satu daratan (adjacent). Terdapat 10 negara tetangga yang memiliki potensi tumpang tindih klaim maritim dengan Indonesia yaitu, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia. Indonesia mulai melakukan penetapan batas wilayah sejak tahun 1969 yang telah disepakati dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Kemudian setelah itu disusul dengan penetapan di beberapa wilayah dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, Australia, dan Filipina. Untuk kesepakatan batas maritim dengan Palau dan Timor Leste sampai saat ini masih belum ada kesepakatan.
Belum adanya kesepakan yang jelas tersebut dapat menimbulkan klaim antar negara yang kemudian berujung pada saling tuduh mencuri hasil laut, atau dapat menimbulkan konflik yang lain yang mungkin lebih besar. Hal tersebut telah nyata terjadi seperti ditangkapnya nelayan yang sedang mencari ikan di negaranya (A) yang kemudian ia memasuki kawasan tumpang tindih. Sejatinya ia telah mengikuti aturan sesuai dengan peta yang ia gunakan sebagai acuan, yaitu peta yang dibuat oleh negaranya. Namun negara tetangga (B) menilai bahwa nelayan tersebut telah memasuki kawasan negaranya tanpa izin. Hal tersebut lalu menimbulkan konflik antar negara.
Mengapa tumpang tindih klaim antar negara dapat terjadi? Hal tersebut dimungkinkan karena peta acuan yang digunakan oleh masing-masing negara berbeda dan datum serta sistem proyeksi yang digunakan oleh masing-masing negara juga berbeda.
Lalu bagaimana solusinya? Solusi yang mungkin bisa dilakukan yaitu melakukan sebuah perjanjian dan menyamakan datum serta sistem proyeksi yang digunakan pada peta masing-masing negara. Namun sejatinya itu bukanlah perkara yang mudah, karena tidak setiap negara mau untuk menyamakan datum atau sistem proyeksi yang digunakan. Sebuah negara memilih datum dan sistem proyeksi yang digunakan pada peta negaranya biasanya karena datum dan sistem proyeksi tersebut sesuai dengan keadaan geografis negara tersebut.

V.      Mengelola Wilayah Pesisir Secara Cerdas
Laut telah berkembang menjadi aset nasional wilayah kedaulatan, ekosistem, sumber daya yang dapat bertindak sebagai sumber energi, sumber bahan makanan, sumber bahan farmasi, serta berperan sebagai media lintas laut antar pulau, media pertukaran sosial-budaya, kawasan perdagangan, dan wilayah pertahanan keamanan. Begitu banyaknya peran sebuat lautan maka banyak aktivitas yang terjadi, dan banyak pula orang yang terlibat dalam masing-masing aktivitas tersebut. Maka dari itu diperlukannya pengetahuan mengenai pengelolaan laut dan pesisir secara bijak dan terpadu. Serta diperlukannya suatu konsepsi melalui pendekatan makro dan pendekatan mikro dalam penataan dan pengelolaan wilayah laut. 

Referensi:

Arsana, Andi.2014."Memagari Laut Nusantara". dalam MemagariLautNusantara.pdf 
(Bahan kuliah 23 Februari 2015)
Arsana, Andi.2007."Batas Maritim Antarnegara". Yogyakarta: UGMPress
Rais, Jacub [et al].2004."Menata Ruang Laut Terpadu". Yogyakarta: Pradnya Paramita




Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014


Indonesia merupakan negara kepulauan, itulah mengapa sebagian besar (60 %) penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir. Pesisir memiliki potensi kekayaan alam yang besar yang dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas sekelompok orang/perorangan dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya.
Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh karena itu diperlukannya hukum yang mengatur, sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. Pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).
Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Dikarenakan Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.  Maka dibentuklah Undang-undang No 1 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No 27 tahun 2007.
Dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) yang diubah sebagai berikut:
1.    Pengubahan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A
2.     Pengubahan ayat (1) dan ayat (7) pada Pasal 14
3.   Pengubahan Judul Bagian Kesatu pada Bab V dari Bagian Kesatu: Hak Penguasaan Perairan Pesisir menjadi Bagia kesatu: Izin.
4.      Pengubahan Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22.
5.      Penambahan Pasal baru diantara Pasal 22 dan 23, yaitu Pasal 22A, 22B, dan 22C.
6.      Pengubahan Pasal 23.
7.      Penambahan Pasal baru diantara Pasal 26 dan 27, yaitu Pasal 26A.
8.      Pengubahan Pasal 30, 50, 51, dan 60.
9.      Pengubahan Pasal 63 ayat 2.
10.  Pengubahan Pasal 71, dan 75.
11.  Penambahan Pasal baru diantara pasal 75 dan 76, yaitu Pasal 75A.
12.  Penambahan Pasal baru diantara pasal 78 dan 79, yaitu Pasal 78A dan pasal 78B.
Analisis
Berdasarkan perubahan diatas maka terdapat dua hal penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yaitu tentang penggantian HP-3 dan Kawasan Konservasi Laut. Hal yang mendasari dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).  HP-3 menurut Pasal 1 ayat 18 Undang-Undang Nomor 27 2007 adalah adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.  Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 juga menjelaskan bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Dengan adanya sifat HP-3 tersebut maka banyak kemungkinan hak tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi, atau kemompok tertentu. Serta pemberian HP3 kepada pihak swasta dinilai sebagai pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta.  Meskipun Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 mengakomodasi masyarakat adat untuk bisa memperoleh HP3, namun MK menilai bahwa masyarakat adat tidak akan mampu memenuhi persyaratan untuk perolehan HP3 dan tidak akan mampu bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal.  Dengan ketidakmampuan tersebut, masyarakat adat akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Kondisi ini yang dianggap bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat (ayat 3).
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka terminologi “hak” HP-3 dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diganti dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.  Izin pengelolaan dalam hal ini diwajibkan untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.  Namun perlu digarisbawahi bahwa terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat terhadap kewajiban ini.  Hal inilah yang membedakan dengan HP-3 pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dimana masyarakat adat dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3. Persaingan tersebut dianggap tidak sehat sebab korporasi memiliki modal yang jauh lebih besar ketimbang masyarakat adat.
Selain HP-3, hal yang paling menonjol dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 ini adalah pengalihan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).  Pasal 78A menyebutkan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.  Menteri yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 ini tentunya menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan alias Menteri Kelautan dan Perikanan.

Penjelasan pasal 78A bahkan menjelaskan secara lebih detail bahwa yang dimaksud dengan ”kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain: Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu, Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, Taman Nasional (Laut) Bunaken, Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi, Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Taman Nasional Kepulauan Togean.  Hal ini berarti negara telah memutuskan bahwa kawasan konservasi laut tersebut mesti dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Daftar Pustaka
UU No. 7 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

More

Visitor Maps

Visitors